Mantan Panglima ABRI Jenderal (Purn) Wiranto, angkat bicara terkait tudingan dia terlibat dalam kasus kerusuhan Mei 1998. Wiranto mengaku beberapa waktu terakhir ini seolah disudutkan dengan tudingan dalam kasus penculikan aktivis dan penembakan mahasiswa.
Wiranto mengklaim, saat kejadian itu, dia selaku Panglima ABRI telah melakukan pencegahan dan menginstruksikan untuk mengusut siapa pun, baik dari sipil maupun militer yang terlibat kerusuhan Mei 1998.
"Sebagai Panglima ABRI saat itu, secara otomatis saya terlibat. Bukan sebagai dalang, namun sebagai pihak yang tidak melakukan pembiaran," kata Wiranto di kawasan Menteng, Jakarta, Kamis 19 Juni 2014.
Mantan Menteri Pertahanan dan Keamanan itu mengatakan, bila dia terlibat sebagai dalam kerusuhan, sudah dipastikan negara hancur. Karena sebagai Panglima ABRI saat itu, dia memiliki kekutan untuk menggerakan pasukan.
"Kerusuhan pasti akan berlarut larut seperti di Thailand, Mesir dan Suriah," ujarnya.
Dalam kondisi itu, Wiranto mengaku telah melakukan tindakan untuk mengendalikan situasi. Antara lain, menarik pasukan Kostrad dan Marinir dari Jawa Timur untuk mengamankan situasi. "Dalam waktu tiga hari situasi berjalan kondusif," ucapnya.
Dia menjelaskan, kerusuhan Mei 1998 itu dimulai di Jakarta pada 13 Mei 1998, usai pemakaman para korban penembakan Trisakti dan setelah itu menyebar ke seluruh wilayah. Pada 14 Mei kerusuhan memuncak, namun pada 15 Mei, semua sudah bisa dikendalikan.
"Pada kenyataanya penembakan di Trisakti sudah saya usut dan menghukum para pelakunya. Saat penembakan saya sudah perintahkan tidak ada peluru tajam. Semua ditinggalkan di batalion, kenyataanya terjadi di lapangan," terang Wiranto.
Begitu juga dengan kasus penculikan aktivis. Wiranto menegaskan, dia telah melakukan fungsinya sebagai panglima dengan melakukan pengusutan dan pemberian sanksi pada prajurit yang terlibat.
Menurutnya, apa yang dia lakukan adalah bentuk tanggung jawabnya sebagai panglima. Meskipun sebagai Panglima ABRI saat itu, dia bisa melakukan banyak hal termasuk kudeta.
"Peluang saya sangat terbuka untuk melakukan kudeta saat itu. Itu saya tidak lakukan karena sebagai bhayangkara negara yang harus menegakan demokrasi dengan segala resiko," jelasnya.
Wiranto menambahkan, dalam situasi politik jelang Pemilu Presiden 2014, dia telah disudutkan dengan berbagai argumentasi dan opini yang menuduhnya sebagai dalang kerusuhan Mei 1998.
"Tidak adil dan tidak pada tempatnya kalau panglima dibebani tanggung jawab sebagai dalang penembakan, kerusuhan dan penculikan," imbuhnya. (adi)