Sejarah Baru KPK, Tuntut Terdakwa Koruptor Penjara Seumur Hidup
Akil Mochtar dituntut hukuman pidana seumur hidup oleh Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi, Senin 16 Juni 2014. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu tampak kesal.
Bagaimana tidak, tuntutan pidana penjara seumur hidup terhadap Akil merupakan tuntutan tertinggi jaksa KPK sepanjang komisi antirasuah itu berdiri. Ia pun harus membayar denda sebesar Rp10 miliar atas kasus dugaan korupsi dan pencucian uang penanganan sengketa pemilihan kepala daerah di MK yang menjeratnya.
"Makanya saya bilang enggak usah sidang saja (pembacaan tuntutan), langsung bacakan amarnya saja. Kan selesai," kata Akil usai menjalani persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Akil menyesalkan, dari 2.000 halaman amar putusan yang dibacakan jaksa, tak ada satu pun unsur yang meringankan. Dalam putusan, jaksa menilai Akil tidak mengakui kesalahannya. Usai sidang, Akil tetap bersikukuh tidak melakukan kesalahan apapun sehingga tidak ada yang perlu diakui.
Juru Bicara KPK Johan Budi membenarkan bahwa tuntutan hukuman yang dijatuhkan kepada Akil merupakan yang tertinggi dalam sejarah KPK.
"Ini tuntutan paling tinggi yang pernah disampaikan jaksa KPK," kata Johan, kemarin.
Johan pun mengungkap sejumlah pertimbangan dalam memberikan tuntutan yang termasuk paling tinggi dalam sejarah KPK itu. Salah satunya, akibat perbuatan Akil, kepercayaan masyarakat terhadap MK sebagai lembaga penjaga konstitusi menjadi rusak.
"Masyarakat yang sebelumnya sangat percaya penuh, kemudian menjadi goyah gara-gara perbuatan tersangka," jelas dia.
Selain itu, Akil sebagai penegak hukum dinilai tidak menjadi contoh yang baik karena diduga melakukan suap penanganan perkara pilkada.
Johan menambahkan, perbuatan Akil dinilai juga ikut mempengaruhi proses pilkada di masing-masing daerah. Hal tersebut dipandang bisa memacu perseteruan di tingkat akar rumput.
Akil juga dinilai tidak kooperatif, baik dalam proses penyelidikan, penyidikan hingga persidangan. "Ada hal-hal yang seharusnya dia kooperatif, memberikan jawaban-jawaban, tapi dia tidak kooperatif, berbelit-belit," kata Johan.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Jaksa kemudian menuntut Akil dengan hukuman maksimal. Meski demikian, KPK menyerahkan semua kepada majelis hakim dalam mengambil putusan vonis.
Tuntutan Tertinggi
Sebelum Akil, 'rekor' tuntutan tertinggi dijatuhkan jaksa KPK kepada mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo. Djoko dituntut hukuman 18 tahun penjara atas dakwaan menerima pemberian hadiah atau janji dan pencucian uang terkait proyek pengadaan simulator ujian surat izin mengemudi (SIM).
Tuntutan tersebut tak lepas dari jabatan Djoko sebagai penegak hukum. Namun, hakim kemudian menjatuhkan vonis lebih ringan yakni 10 tahun penjara.
Beberapa waktu lalu jaksa KPK juga menuntut mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq hingga 18 tahun penjara. Mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu dijerat dalam kasus korupsi dan pencucian uang kuota impor daging sapi.
Akhir 2013 lalu, Luthfi divonis 16 tahun penjara di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Tuntutan Akil juga melampaui tuntutan terhadap terdakwa kasus dugaan korupsi Century Budi Mulya. Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia itu dituntut 17 tahun penjara oleh jaksa KPK beberapa minggu lalu.
KPK juga menuntut anggota DPR Zulkarnaen Djabbar dengan hukuman 12 tahun penjara dalam kasus korupsi proyek pengadaan laboratorium dan Alquran tahun 2011-2012 di Kementerian Agama.
Meski mendapat tuntutan di atas 10 tahun, Zulkarnaen malah dijatuhi vonis lebih tinggi. Hakim memvonis politikus Golkar itu 15 tahun penjara.
Tak jauh berbeda dengan Zulkarnaen, jaksa Urip Tri Gunawan juga dijatuhi vonis lebih tinggi dari tuntutan yang diterimanya. Jaksa KPK menuntutnya 15 tahun penjara, namun hakim kemudian memvonisnya 20 tahun penjara.
Dia divonis 20 tahun penjara, padahal tim jaksa KPK menuntutnya dihukum 15 tahun penjara.
Merasa Berjasa
Akil Mochtar marah. Selain karena tuntutan seumur hidup yang dijatuhkan jaksa KPK kepadanya, ia juga kecewa jaksa sama sekali tak mencantumkan hal-hal yang meringankan dalam amarnya.
Akil merasa telah berjasa bagi negara selama menjadi anggota DPR maupun hakim MK. Ia juga menganggap jaksa tidak berkeprimanusiaan karena tidak mempertimbangkan dirinya yang merupakan seorang kepala keluarga yang memiliki banyak tanggungan.
Akil juga kembali menegaskan dia tidak merasa kaget dengan tuntutan jaksa.
"Sudah enggak kaget, cuma yang kaget itu tak ada hal yang meringankan. Tapi Anda semua lebih bermanfaat dari pada saya, walaupun saya juga pernah berjasa untuk republik ini," katanya.
Sejumlah perkara menyangkut Akil itu diketahui antara lain, suap sengketa Pilkada Lebak dan Gunung Mas, serta dugaan gratifikasi di sengketa Pilkada Kabupaten Empat Lawang dan Pilkada Palembang. Empat berkas perkara Akil dijadikan dalam satu dakwaan.
Akil Mochtar diduga menerima uang sebesar Rp3 miliar untuk pengurusan sengketa Pilkada Gunung Mas, Kalimantan Tengah 2013. Serta Rp1 miliar untuk sengketa Pilkada Lebak, Banten 2013.
Untuk kasus sengketa pengurusan Pilkada Gunung Mas, Akil disangkakan melanggar Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP atau Pasal 6 Undang-Undang Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sedangkan pada kasus Pilkada Lebak, Akil dijerat dengan Pasal 12 huruf C UU Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP atau Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Akil juga diduga menerima gratifikasi dalam pengurusan sengketa Pilkada Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan 2013, dan Pilkada Kota Palembang, Sumsel 2013. Dalam kasus ini, dia dijerat dengan Pasal 12 B UU Tipikor.
Selain itu, ada beberapa pilkada lain yang ikut dimasukkan dalam sangkaan pasal 12 B atau gratifikasi. Antara lain, pengurusan sengketa Pilkada Provinsi Banten, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Morotai Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara.
Akil juga dikenakan Pasal 3 dan 4 UU No 8/2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), dan Pasal 3 atau Pasal 6 ayat 1 UU Nomor 15/2002 UU TPPU sebagaimana telah diubah dengan UU No 25/2003 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.
Jaksa mengatakan, Akil terbukti menerima sebesar Rp 1 miliar dari Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan melalui pengacara Susi Tur Andayani. Pemberian uang itu terkait pengurusan sengketa Pilkada Lebak, Banten, yang diajukan pasangan calon bupati dan wakil bupati Lebak Amir-Kasmin
Berdasarkan fakta persidangan, jaksa juga menilai Akil terbukti menerima suap terkait sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas sebesar Rp3 miliar, Pilkada Kabupaten Empat Lawang sebesar Rp10 miliar dan US$500.000, Pilkada Kota Palembang sebesar Rp19.886.092.800, dan Pilkada Lampung Selatan sebesar Rp500 juta.
"Seluruh unsur dalam dakwaan kesatu telah terpenuhi," kata jaksa Pulung Rinandoro.
Selain itu, jaksa juga menyatakan Akil terbukti menerima hadiah atau janji sebagaimana dakwaan kedua, ketiga, dan keempat.
Sebagaimana dakwaan kedua, jaksa menilai Akil terbukti menerima uang terkait sengketa Pilkada Kabupaten Buton sebesar Rp1 miliar, Kabupaten Pulau Morotai sebesar Rp2,989 miliar, Kabupaten Tapanuli Tengah sebesar Rp1,8 miliar, dan menerima janji pemberian Rp10 miliar terkait keberatan hasil Pilkada Provinsi Jawa Timur.
Sementara itu, dalam dakwaan ketiga, Akil dinilai terbukti menerima Rp125 juta kepada Wakil Gubernur Papua periode tahun 2006-2011 Alex Hesegem. Pemberian uang itu terkait sengketa Pilkada Kabupaten Merauke, Kabupaten Asmat, Kabupaten Boven Digoel, Kota Jayapura, dan Kabupaten Nduga.
"Terdakwa mengetahui uang yang diterimanya karena jabatan terdakwa," kata jaksa Rini Triningsih.
Tak hanya itu, dalam dakwaan keempat, Akil dinilai terbukti menerima uang dari Wawan sebesar Rp7,5 miliar. Uang itu diberikan melalui rekening perusahaan istri Akil, CV Ratu Samagat. Jaksa juga menyatakan Akil terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang saat menjadi anggota DPR dan menjabat Ketua MK. (ren)
sumber | digali.blogspot.com
Vonis dari hakim atas Akil Mochtar nanti jangan sampai antiklimaks.
Bagaimana tidak, tuntutan pidana penjara seumur hidup terhadap Akil merupakan tuntutan tertinggi jaksa KPK sepanjang komisi antirasuah itu berdiri. Ia pun harus membayar denda sebesar Rp10 miliar atas kasus dugaan korupsi dan pencucian uang penanganan sengketa pemilihan kepala daerah di MK yang menjeratnya.
"Makanya saya bilang enggak usah sidang saja (pembacaan tuntutan), langsung bacakan amarnya saja. Kan selesai," kata Akil usai menjalani persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Akil menyesalkan, dari 2.000 halaman amar putusan yang dibacakan jaksa, tak ada satu pun unsur yang meringankan. Dalam putusan, jaksa menilai Akil tidak mengakui kesalahannya. Usai sidang, Akil tetap bersikukuh tidak melakukan kesalahan apapun sehingga tidak ada yang perlu diakui.
Juru Bicara KPK Johan Budi membenarkan bahwa tuntutan hukuman yang dijatuhkan kepada Akil merupakan yang tertinggi dalam sejarah KPK.
"Ini tuntutan paling tinggi yang pernah disampaikan jaksa KPK," kata Johan, kemarin.
Johan pun mengungkap sejumlah pertimbangan dalam memberikan tuntutan yang termasuk paling tinggi dalam sejarah KPK itu. Salah satunya, akibat perbuatan Akil, kepercayaan masyarakat terhadap MK sebagai lembaga penjaga konstitusi menjadi rusak.
"Masyarakat yang sebelumnya sangat percaya penuh, kemudian menjadi goyah gara-gara perbuatan tersangka," jelas dia.
Selain itu, Akil sebagai penegak hukum dinilai tidak menjadi contoh yang baik karena diduga melakukan suap penanganan perkara pilkada.
Johan menambahkan, perbuatan Akil dinilai juga ikut mempengaruhi proses pilkada di masing-masing daerah. Hal tersebut dipandang bisa memacu perseteruan di tingkat akar rumput.
Akil juga dinilai tidak kooperatif, baik dalam proses penyelidikan, penyidikan hingga persidangan. "Ada hal-hal yang seharusnya dia kooperatif, memberikan jawaban-jawaban, tapi dia tidak kooperatif, berbelit-belit," kata Johan.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Jaksa kemudian menuntut Akil dengan hukuman maksimal. Meski demikian, KPK menyerahkan semua kepada majelis hakim dalam mengambil putusan vonis.
Tuntutan Tertinggi
Sebelum Akil, 'rekor' tuntutan tertinggi dijatuhkan jaksa KPK kepada mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo. Djoko dituntut hukuman 18 tahun penjara atas dakwaan menerima pemberian hadiah atau janji dan pencucian uang terkait proyek pengadaan simulator ujian surat izin mengemudi (SIM).
Tuntutan tersebut tak lepas dari jabatan Djoko sebagai penegak hukum. Namun, hakim kemudian menjatuhkan vonis lebih ringan yakni 10 tahun penjara.
Beberapa waktu lalu jaksa KPK juga menuntut mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq hingga 18 tahun penjara. Mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu dijerat dalam kasus korupsi dan pencucian uang kuota impor daging sapi.
Akhir 2013 lalu, Luthfi divonis 16 tahun penjara di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Tuntutan Akil juga melampaui tuntutan terhadap terdakwa kasus dugaan korupsi Century Budi Mulya. Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia itu dituntut 17 tahun penjara oleh jaksa KPK beberapa minggu lalu.
KPK juga menuntut anggota DPR Zulkarnaen Djabbar dengan hukuman 12 tahun penjara dalam kasus korupsi proyek pengadaan laboratorium dan Alquran tahun 2011-2012 di Kementerian Agama.
Meski mendapat tuntutan di atas 10 tahun, Zulkarnaen malah dijatuhi vonis lebih tinggi. Hakim memvonis politikus Golkar itu 15 tahun penjara.
Tak jauh berbeda dengan Zulkarnaen, jaksa Urip Tri Gunawan juga dijatuhi vonis lebih tinggi dari tuntutan yang diterimanya. Jaksa KPK menuntutnya 15 tahun penjara, namun hakim kemudian memvonisnya 20 tahun penjara.
Dia divonis 20 tahun penjara, padahal tim jaksa KPK menuntutnya dihukum 15 tahun penjara.
Merasa Berjasa
Akil Mochtar marah. Selain karena tuntutan seumur hidup yang dijatuhkan jaksa KPK kepadanya, ia juga kecewa jaksa sama sekali tak mencantumkan hal-hal yang meringankan dalam amarnya.
Akil merasa telah berjasa bagi negara selama menjadi anggota DPR maupun hakim MK. Ia juga menganggap jaksa tidak berkeprimanusiaan karena tidak mempertimbangkan dirinya yang merupakan seorang kepala keluarga yang memiliki banyak tanggungan.
Akil juga kembali menegaskan dia tidak merasa kaget dengan tuntutan jaksa.
"Sudah enggak kaget, cuma yang kaget itu tak ada hal yang meringankan. Tapi Anda semua lebih bermanfaat dari pada saya, walaupun saya juga pernah berjasa untuk republik ini," katanya.
Sejumlah perkara menyangkut Akil itu diketahui antara lain, suap sengketa Pilkada Lebak dan Gunung Mas, serta dugaan gratifikasi di sengketa Pilkada Kabupaten Empat Lawang dan Pilkada Palembang. Empat berkas perkara Akil dijadikan dalam satu dakwaan.
Akil Mochtar diduga menerima uang sebesar Rp3 miliar untuk pengurusan sengketa Pilkada Gunung Mas, Kalimantan Tengah 2013. Serta Rp1 miliar untuk sengketa Pilkada Lebak, Banten 2013.
Untuk kasus sengketa pengurusan Pilkada Gunung Mas, Akil disangkakan melanggar Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP atau Pasal 6 Undang-Undang Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sedangkan pada kasus Pilkada Lebak, Akil dijerat dengan Pasal 12 huruf C UU Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP atau Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Akil juga diduga menerima gratifikasi dalam pengurusan sengketa Pilkada Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan 2013, dan Pilkada Kota Palembang, Sumsel 2013. Dalam kasus ini, dia dijerat dengan Pasal 12 B UU Tipikor.
Selain itu, ada beberapa pilkada lain yang ikut dimasukkan dalam sangkaan pasal 12 B atau gratifikasi. Antara lain, pengurusan sengketa Pilkada Provinsi Banten, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Morotai Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara.
Akil juga dikenakan Pasal 3 dan 4 UU No 8/2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), dan Pasal 3 atau Pasal 6 ayat 1 UU Nomor 15/2002 UU TPPU sebagaimana telah diubah dengan UU No 25/2003 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.
Jaksa mengatakan, Akil terbukti menerima sebesar Rp 1 miliar dari Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan melalui pengacara Susi Tur Andayani. Pemberian uang itu terkait pengurusan sengketa Pilkada Lebak, Banten, yang diajukan pasangan calon bupati dan wakil bupati Lebak Amir-Kasmin
Berdasarkan fakta persidangan, jaksa juga menilai Akil terbukti menerima suap terkait sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas sebesar Rp3 miliar, Pilkada Kabupaten Empat Lawang sebesar Rp10 miliar dan US$500.000, Pilkada Kota Palembang sebesar Rp19.886.092.800, dan Pilkada Lampung Selatan sebesar Rp500 juta.
"Seluruh unsur dalam dakwaan kesatu telah terpenuhi," kata jaksa Pulung Rinandoro.
Selain itu, jaksa juga menyatakan Akil terbukti menerima hadiah atau janji sebagaimana dakwaan kedua, ketiga, dan keempat.
Sebagaimana dakwaan kedua, jaksa menilai Akil terbukti menerima uang terkait sengketa Pilkada Kabupaten Buton sebesar Rp1 miliar, Kabupaten Pulau Morotai sebesar Rp2,989 miliar, Kabupaten Tapanuli Tengah sebesar Rp1,8 miliar, dan menerima janji pemberian Rp10 miliar terkait keberatan hasil Pilkada Provinsi Jawa Timur.
Sementara itu, dalam dakwaan ketiga, Akil dinilai terbukti menerima Rp125 juta kepada Wakil Gubernur Papua periode tahun 2006-2011 Alex Hesegem. Pemberian uang itu terkait sengketa Pilkada Kabupaten Merauke, Kabupaten Asmat, Kabupaten Boven Digoel, Kota Jayapura, dan Kabupaten Nduga.
"Terdakwa mengetahui uang yang diterimanya karena jabatan terdakwa," kata jaksa Rini Triningsih.
Tak hanya itu, dalam dakwaan keempat, Akil dinilai terbukti menerima uang dari Wawan sebesar Rp7,5 miliar. Uang itu diberikan melalui rekening perusahaan istri Akil, CV Ratu Samagat. Jaksa juga menyatakan Akil terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang saat menjadi anggota DPR dan menjabat Ketua MK. (ren)
sumber | digali.blogspot.com
Tag :
Hukum